Relokasi PKL Jangan Relokasi Penghidupannya
- account_circle Admin
- calendar_month Sab, 12 Jul 2025
- visibility 83
- comment 0 komentar

Oplus_16777216
Oleh: Ir. Yanyan Anugraha
Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga PPHI (Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia)
Kisruh dan ketidakpuasan para Pedagang Kaki Lima (PKL) di kawasan pertokoan Jalan Siliwangi, Kuningan, masih belum menemui titik terang. Para PKL yang direlokasi merasa bukan hanya dipindahkan tempatnya, tetapi juga direlokasi penghasilannya ke titik nol. Sebuah ironi yang memilukan.
Di satu sisi, Pemerintah Daerah (Pemda) ingin menata kawasan Jalan Siliwangi agar lebih rapi, menarik, dan berdaya saing sebagai kawasan pertokoan. Namun di sisi lain, penataan yang dilakukan terkesan hanya mengedepankan estetika fisik, tanpa mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi para pedagang kecil yang selama ini menggantungkan hidup di sana.
Relokasi yang dilakukan pun tampak tergesa-gesa, tanpa kajian menyeluruh. Bahkan, eks SDN 17 yang dalam rencana awal akan dijadikan lahan parkir, justru dialihfungsikan menjadi tempat relokasi PKL. Ini menimbulkan tanda tanya besar atas konsistensi dan validitas perencanaan tata ruang yang dijalankan Pemda.
Apakah tidak ada solusi yang bisa mengakomodasi kepentingan Pemda dan para PKL secara bersamaan?
Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa Jalan Siliwangi sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjadi kawasan yang teratur namun tetap manusiawi. Ruas jalan tersebut terbagi dua fungsi: jalur utama dan jalur bongkar muat. Jalur bongkar muat ini sangat jarang digunakan, dan cenderung tidak dimanfaatkan secara maksimal.
Jika pemerintah mau membuka diri pada pendekatan yang realistis dan multidisipliner, sangat mungkin jalur bongkar muat itu ditata ulang menjadi zona PKL yang tertib, bersih, dan estetis. Dengan perencanaan ruang yang matang, studi arsitektur, dan regulasi yang adil, kawasan tersebut justru bisa berkembang menjadi destinasi kuliner unggulan yang menunjang sektor pariwisata lokal.
Pemda bisa membangun kios-kios dengan desain seragam dan artistik, dilengkapi gazebo ruang makan, serta elemen penghijauan seperti pot tanaman untuk memperindah suasana. PKL tetap dapat berjualan dengan layak, dan Pemda bisa mengatur regulasi sewa yang adil untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tentu saja, jumlah PKL yang ditampung harus sesuai dengan data riil sebelum relokasi, agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial.
Regulasi lainnya juga perlu ditetapkan, misalnya larangan parkir kendaraan roda dua, roda empat, dan delman di sepanjang Jalan Siliwangi dan kawasan pertokoan, yang akan memperlancar arus lalu lintas serta menjaga estetika kawasan.
Ini bukan sekadar persoalan tata ruang, tapi juga soal keadilan sosial.
Pemerintah tidak boleh hanya berpikir tentang visualisasi kota, tapi juga harus menjamin keberlangsungan hidup masyarakat kecil. Apalah artinya jargon “Kuningan Melesat” di semua sektor, jika ada warganya yang justru dibiarkan jatuh dan gulung tikar akibat kebijakan yang tak berpihak?
Dengan melibatkan para perencana, arsitek, akademisi, tokoh masyarakat, dan tentu saja para PKL sendiri, keniscayaan untuk menciptakan Jalan Siliwangi yang tertata, indah, dan manusiawi bukanlah hal mustahil. Justru ini bisa menjadi contoh praktik penataan yang partisipatif dan inklusif, sebagaimana semestinya wajah pemerintahan yang demokratis dan berpihak pada rakyat.(***)
- Penulis: Admin