Sayana Menyimpan Sejarah: Dari Sumur Kembang Galing hingga Doa Pangeran Selingsingan
- account_circle Admin
- calendar_month Ming, 13 Jul 2025
- visibility 112
- comment 0 komentar

Oplus_16777216
KUNINGAN — jelajahtvnews.com,- Desa Sayana di Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, tengah menggeliat sebagai kawasan yang tak hanya berkembang secara infrastruktur dan sosial, tetapi juga berusaha menjaga erat warisan sejarah dan spiritual yang telah mengakar sejak abad ke-19.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Hal tersebut diceritakan Kepala Desa Sayana Kecamatan Jalaksana Supriyadi, usai melaksanakan rapat koordinasi terkait potensi desa Sayana.
Lebih lanjut dalam cerita , kades Sayana menyampaikan,
Salah satu bukti autentik keberadaan sejarah tersebut adalah Momolo Masjid Tua Sayana, masjid pertama di desa ini, yang memiliki kayu ukiran bertuliskan angka tahun 1851. Di sinilah awal jejak Islam dan peradaban tertua desa ini bisa dikenali. Tak jauh dari sana, sekitar satu kilometer dari balai desa, terdapat kawasan bekas Keraton yang menjadi rujukan para peneliti dan sejarawan dalam menelusuri akar Sayana. Ujarnya.
Sebelum pengaruh Islam masuk, wilayah ini telah memiliki tatanan sosial yang mapan. Tokoh pertama yang dikenal sebagai pemimpin adalah Abah Bewu atau Kyai Mas Kebodadung, yang kemudian digantikan oleh saudaranya, Abah Bei (Kyai Mas)—seorang senopati disegani. Kini, kepemimpinan desa Sayana telah memasuki generasi ke-13.
Uniknya, makam para sesepuh tidak terletak di tempat tinggi seperti biasanya, melainkan di bagian bawah desa, tepatnya di kawasan yang dikenal dengan nama Biritail. Di area tersebut terdapat situs batu khas, makam panjang Buyut Narada, dan tempat sakral Abah Uyut Wisnu yang kerap diziarahi.
Cerita rakyat yang paling dikenal adalah pertemuan seorang perempuan sepuh bernama Mauyut dengan Pangeran Arya Selingsingan dari Talaga Manggung. Saat dalam perjalanan menuju Cirebon, sang pangeran meminta air untuk wudu dan memberi minum pasukannya. Mauyut pun memberinya air dari Sumur Kembang Galing. Sebagai bentuk syukur, sang pangeran mendoakan agar kelak muncul mata air di bawah desa agar warga tak perlu lagi naik turun bukit. Doa itu terbukti nyata. Mata air itu masih digunakan hingga kini dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan warga.
Sejarah juga mencatat, pada masa Perang Diponegoro, desa ini menjadi tempat perlindungan bagi tiga tokoh penting: dua senopati laki-laki dan satu perempuan, yang datang ke kawasan Ciparahu—wilayah lama Sayana—untuk menyelamatkan diri dari penjajahan Belanda. Mereka bahkan menjadikan beberapa titik sebagai area yang “diharamkan” menggunakan Bahasa Jawa demi menyamarkan identitas.
Salah satu tokoh sepuh desa menjelaskan bahwa nama “Sayana” berasal dari kata “seadanya”, mencerminkan kesederhanaan kehidupan masa lalu. Kini, Sayana tengah membangun visi besar: “Mukti Kertaraharja”—desa yang makmur dan sejahtera. Sejak delapan bulan terakhir, berbagai inisiatif pembangunan dan pemberdayaan mulai menunjukkan hasil, membawa semangat baru bagi masyarakat.
Melalui pelestarian cerita rakyat, kades Sayana berharap, situs budaya, hingga spiritualitas desa, Sayana menjadi contoh bagaimana sejarah lisan dan identitas lokal bisa menjadi fondasi kuat dalam membangun masa depan. ( SEP )
- Penulis: Admin