Kisah Karet Gelang dan Merah Putih Di lapang Pendopo Kuningan
- account_circle Admin
- calendar_month Ming, 4 Mei 2025
- visibility 51
- comment 0 komentar

Oplus_131072
jelajhtvnews.com,- Pagi itu, udara terasa lebih khidmat dari biasanya. Langit Kuningan membiru pucat, seolah turut menunduk menyambut upacara sakral: Hari Kesaktian Pancasila. Di pendopo agung yang megah namun sederhana, seluruh petugas dan pasukan upacara telah bersiaga. Barisan para pejabat tinggi berdiri tegap menghadap tiang bendera. Wajah mereka menyatu dalam satu irama: hormat dan hening untuk negeri.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Aku, si juru kamera yang hanya bertugas membidik peristiwa, berdiri di sisi lapangan. Lensa kameraku menjadi mata kedua, menangkap setiap detik peristiwa bersejarah itu.
Tiba-tiba, suara hentakan sepatu paskibra membelah keheningan pagi. Derap langkah mereka tegas, bergema mantap di atas tanah. Mereka melangkah seakan tak hanya membawa bendera, tapi juga kehormatan bangsa. Dan ketika langkah mereka berhenti tepat di depan tiang bendera, semua mata terpaku.
Komandan upacara berseru lantang, “Hormat… bendera!”
Namun tepat saat aba-aba itu menggema, suara kecil yang tak diinginkan terdengar—cekrek—tali tiang bendera terputus. Keheningan pun berubah menjadi kepanikan yang tertahan. Pasukan pengibar refleks membalik badan. Beberapa petugas buru-buru menghampiri, mencari cara memperbaiki. Waktu seolah berhenti. Di hari yang sakral ini, Sang Saka tak bisa berkibar.
Aku tak kuasa hanya berdiri diam. Kamera kuletakkan. Aku berlari ke arah tiang. Para petugas kebingungan mencari pengganti tali atau alat penyambung. Tak ada yang cukup kuat atau lentur.
Lalu aku tersadar. Di pergelangan rambutku, ada seutas karet gelang yang sejak pagi kugunakan untuk mengikat rambut. Tanpa pikir panjang, aku melepaskannya dan menyerahkannya pada salah satu petugas. Mereka tertegun, tapi langsung mengikatkan karet itu ke ujung tali bendera.
Beberapa detik yang terasa seperti seabad.
Dan akhirnya—perlahan namun pasti—bendera merah putih itu naik. Berkibar. Megah. Lembut namun gagah, melambai-lambai di langit Kuningan. Semua pasang mata kembali menatapnya dengan haru.
Di tengah lautan hormat dan tegap, hanya aku yang berdiri sedikit membungkuk, menahan senyum. Bukan soal karet gelang itu, tapi karena hari ini, aku merasa menjadi bagian kecil dari sesuatu yang besar. ( Sep Rhdt ).
- Penulis: Admin